Membaca kisah pewayangan kembali, aku teringat koleksi buku wayangku dimasa lalu. Dari berbagai buku dan sumber, banyak kisah pewayangan memiliki karakteristik berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, serta akar sejarah yang juga berbeda.
Kisah epik Ramayana, Mahabharata, Bharatayudha, menurut versi India Kuno karya Valmiki dan Vyasa ternyata sangat berbeda dengan versi Indonesia. Contohnya para punakawan dalam versi India tidak ada dalam kisah epik terkenal tersebut.
Wayang Purwa yang memiliki arti makna wayang tua atau purba adalah karya yang muncul begitu saja hadir tanpa dikenal pengarangnya menurut versi Indonesia, samasekali berbeda dengan versi aslinya. Ia hadir menyempal dan memiliki makna para punakawan sebagai orang asli pribumi yang ditugaskan mengawal para bangsawan dari India yang tengah menunaikan perang suci melawan angkara murka. Beberapa ahli mengatakan ini adalah bagian episode dari proses akulturasi dan asimilasi serta sinkretisme yang sangat halus sekali dimasa lampau, agar masyarakat dimasa itu merasa memiliki ajaran tersebut.
Dalam kisah wayang purwa juga dijelaskan asal muasal para dewa yang dikaitkan konon dengan Nabi Sis sebagai seorang nabi yang memiliki keahlian ilmu sihir dan ilmu gaib dimasanya. Pada waktu itu ilmu sihir belum dilarang oleh Tuhan. Dari sinilah kemudian lahirlah para dewa yang menguasai ilmu ghaib. Diantaranya kemudian Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Siwa atau Manik Maya, dan Sang Hyang Antaga, ketiganya putra dari Sang Hyang Wenang.
Melalui proses adu kesaktian perang tanding yang sangat unik antara Sang Hyang Ismaya dan Antaga, akhirnya diantara ketiga dewa tersebut yang terpilih kemudian adalah Sang Hyang Siwa, dengan tanpa berkelahi samasekali karena kedua dewa Sang Hyang Ismaya dan Antaga dikutuk oleh Sang Hyang Wenang menjadi manusia buruk rupa, dan kemudian berganti nama menjadi Semar dan Togog.
Akhirnya tahta Suralaya diserahkan pada Sang Hyang Manik Maya atau Siwa yang kelak kemudian melahirkan bibit keturunan para dewa lainnya, seperti Sang Hyang Wisnu, Brahma, Indra , dll. Sementara itu oleh Sang Hyang Wenang, Togog diminta bertugas mengasuh para raksasa dan mengurangi kejahatan mereka, sedangkan Sang Hyang Ismaya atau Semar bertugas mengawal kaum ksatria.
Wayang Purwa sebagai khasanah asli karya Indonesia kita hingga saat ini masih menarik untuk dijadikan bahan kajian dan ditelusuri asal muasal sejarahnya.
Sementara itu mengenai karya Valmiki dan Vyasa yaitu Ramayana, Mahabharata dan Bharatayudha, ada pula yang berpendapat bahwa kisah tersebut bukan cerita legenda belaka, tetapi merupakan kisah nyata yang benar-benar pernah terjadi dimasa lampau. Indonesia dalam hal ini Pulau Jawa termasuk bagian dari peta yang ikut andil berperang dalam kisah epik heroik tersebut. Diwakili oleh Gatot Kaca yang mewakili negara Pringgandani daerah yang waktu itu masih banyak kaum raksasanya (Pulau Jawa dengan penemuan fosil Meganthropus Erectus di Trinil dan Sangiran). Nama Gatot Kaca juga konon tidak ada dalam tradisi kamus India Kuno sebagai penyebutan sebuah nama, dan ini hanya ada di Pulau Jawa.
No comments:
Post a Comment