Monday, May 25, 2015

THE PHILOSOPHY OF "RINGGIT PURWO" (WAYANG PURWA) - by DHALANG BONEX



Filosofi Ringgit Purwo
- by DHALANG BONEX


Pagelaran wayang kulit bukanlah sekedar tontonan hiburan semalam suntuk ,
selain mengandung banyak makna filosofi , ajaran-ajaran budi pekerti dan kebathinan ,
sekaligus menjadi ‘wadah’ 6 kepandaian , kelebihan (bahasa Jawa : kagunan) , yaitu :
1. Kepandaian di bidang suara (swara) , yaitu pada têmbang (lagu) , suluk ,
ada-ada dan dialog (anta wacana) yg dilagukan , diucapkan oleh dhalang.
( Link contoh suluk dan ada-ada : “Suluk Pedhalangan” )
2. Kepandaian di bidang karawitan ,
yaitu pada laras indahnya gamelan ketika memainkan gêndhing.
Karawitan sendiri berasal dari kata ‘rawit’ yg berarti rumit , halus , indah , asri.
3. Kepandaian di bidang gambar , ukir , tatah dan lukis (sungging) , yaitu pada wayang kulit.
Hiasan kêlir , perangkat gamelan (grobogan gamelan) , gantungan gong (pulase gayor) ,
juga termasuk sebagai bagian dari kepandaian seni ini.

4. Kepandaian di bidang tari (bêksa , jogèd) ,
yaitu pada kepiawaian dhalang menggerakkan wayang (sabetan).
Seorang guru pernah berkata ,
dhalang yg hebat mampu memainkan wayang cakil ,
sehingga tampak bagai seorang penari wayang orang ,
sebaliknya , seorang penari wayang orang yg berperan sebagai cakil akan nampak luar biasa ,
ketika ia mampu menari bak wayang kulit cakil yg dimainkan oleh dhalang.
5. Kepandaian di bidang tontonan atau seni drama yaitu pada pagelaran wayang itu sendiri.
Semalam suntuk , tak hanya menyajikan tontonan yg menghibur ,
namun dhalang juga menyampaikan ajaran-ajaran luhur.
Meski urutan cerita pagelaran wayang kulit selalu sama ,
namun seorang dhalang musti faham (hafal) , tentang tokoh-tokoh wayang ,
tempat tinggal (keraton , kasatryan , padhepokan) ,
nama lain (dasanama) , senjata , silsilah , dan lain-lain ,
seakan menguasai biografi tokoh-tokoh wayang tersebut . . satu persatu !
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa di dunia ini tidak ada ‘penghibur’ sehebat dhalang.
6. Kepandaian di bidang sastra yaitu pada cakêpan têmbang (syair lagu) , suluk dan ada-ada ,
keindahan kata-kata yg digunakan untuk menceritakan sebuah keadaan atau suasana ,
juga tata bahasa (unggah-ungguh) yg dipergunakan oleh tokoh wayang ketika bercakap-cakap.


Meski seorang dhalang sudah terlihat memiliki kepandaian (kagunan) dalam berbagai seni ,

pengetahuan di bidang kebudayaan Jawa , namun ada sebutan (pilahan) tersendiri ,
yg menunjukkan kelebihan seorang dhalang , yaitu :
1. Dhalang Sejati.
Dhalang yg ketika mementaskan sebuah lakon cerita wayang berisi ajaran ilmu kebatinan
(kawruh kebathinan) , sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan makhluk hidup -manusia-) ,
memberi ‘terang’ (tinarbuka) pada penonton yg hatinya masih gelap ,
dan wejangan-wejangan tentang hidup menuju kesempurnaan.
Agar antara lahir dan bathin selaras (jumbuh).
2. Dhalang Purba.
Dhalang yg memainkan wayang dengan lakon cerita yg beraneka macam ,
namun juga memberi wejangan secara halus dan mampu meresap ke sanubari penonton ,
tentang berbagai hal yg terjadi dalam kehidupan sehari-hari ,
sehingga secara pelahan menuntun lahir dan bathin menuju kesempurnaan.
Dhalang Purba adalah seorang yg sudah mampu merasakan ‘rasa’ halus dan kasar-nya manusia.
3. Dhalang Wasesa.
Dhalang yg mahir (mempunyai penjiwaan yg kuat) memainkan tokoh dan cerita wayang.
Sehingga , karena pandainya menceritakan , menggunakan kata-kata , memainkan wayang ,
cerita (lakon) tersebut seakan ‘hidup’ , perasaan dan pikiran penonton terbawa.
Ikut sedih ketika tokoh wayang susah , tertawa ketika suasana gembira dan sebagainya.
4. Dhalang Guna.
Kemampuannya menguasai pakeliran hanya pada cerita yg menyenangkan penonton ,
namun cerita (lakon) yg dibawakan tanpa “isi” , hanya sekedar ramai.
Memainkan wayang secara lugu , juga penguasaannya dalam hal gêndhing.
Ibarat “Dhalang kurang lakon”.
5. Dhalang Wikalpa.
Cara membawakan cerita , memainkan wayang , pengetahuan tentang seni pagelaran wayang ,
semua seperti ketika belajar di sekolah Padhalangan.
Jadi lebih seperti meniru saja , tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri.

Ada 4 macam lakon (cerita) yg menjadi dasar sebuah pagelaran wayang kulit , yaitu :

1. Pakem (babonan) , yg ceritanya mengambil dari perpustakaan wayang purwa ,
misalnya : Bale Sigala-gala , Pandawa Dadu , Rama Gandrung , Hanoman Duta , dsb.
2. Carangan , yg secara garis besarnya saja bersumber pada perpustakaan wayang purwa ,
namun diberi tambahan cerita , seperti : Babad Alas Mertani , Partakrama (Arjuna Wiwaha) ,
Semar Boyong , dsb. (carang = dahan)
3. Gubahan , yg ceritanya tidak bersumber pada perpustakaan wayang purwa ,
hanya menggunakan nama tokoh-tokoh dan keraton yg ada pada cerita wayang ,
seperti : Gambiranom , Dewa Amral , Dewa Katong , dsb.
4. Karangan , yg ceritanya sama sekali lepas dari perpustakaan wayang purwa ,
seperti : Praja Binangun , Linggarjati.
Dalam lakon Praja Binangun diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti :
Ratadahana (Jendral Spoor) , Kala Miyara (Meiyer) , Dewi Saptawulan (Juliana) ,
Bumiandap (Nederland) , dsb.
Yg dimaksud perpustakaan wayang purwa dan menjadi acuan lakon pagelaran wayang kulit
adalah “Serat Pustaka Raja Purwa” karangan R.Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873).
Selain itu ada “Serat Purwakhanda” karangan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1822 – 1855) ,
dan “Serat Pedhalangan Ringgit Purwa” karya KGPAA Mangkunegara VII (1916 – 1944).
Namun babon (induk) dari semua serat tersebut di atas ,
bahkan juga kakawin Bharatayuddha karya Empu Sedah yg dilanjutkan oleh Empu Panuluh ,
pada jaman kerajaan Daha (Kediri) di masa pemerintahan Sri Aji Jayabaya ,
adalah layang Ramayana dan Mahabharata yg berasal dari India.
Menurut orang India , Layang Ramayana dan Mahabharata adalah semacam buku sejarah ,
artinya , cerita yg ada di dalam ke dua layang (buku , kitab) ,
pada jaman dahulu memang benar-benar terjadi di India.
Bahkan ada yg menerangkan bahwa :
1. Kerajaan Hastina yg pada jaman Prabu Bharata (Adik Sri Rama) disebut Pratistana ,
terletak di kaki pegunungan Himalaya di antara lembah Madya-Desa ,
di tepian bengawan Gangga dan pertemuan sungai Jamuna dan Serayu.
2. Kerajaan Indraprastha (Amarta , Ngamarta , yaitu kerajaan Prabu Yudhistira) ,
pada jaman sekarang adalah yg disebut kota Delhi.
3. Kerajaan Madra (Madraka , Mandraka , Mandaraka , yaitu kerajaan Prabu Salya) ,
pada jaman sekarang disebut Madras.
4. Kerajaan Langka (Alengka , Ngalengka , yaitu kerajaan Ratu Rahwana) ,
pada jaman sekarang adalah negara Srilanka (Srilangka).
Rama Prasad , seorang sarjana India memperkirakan bahwa terjadinya Bharatyudha
(peperangan antara Pandhawa melawan Kurawa) hingga sekarang sudah 5.000 tahun lebih.
Meninggalnya Maharesi Bhisma (Dewabrata) di sekitaran tahun 3.137 sebelum tahun Saka ,
para Pandawa murca (mukswa , sirna -raga beserta suksmanya-) ,
sekitaran tahun 3.179 sebelum tahun Saka.

Sekalipun yg menjadi sumber cerita wayang Jawa adalah layang Ramayana dan Mahabharata ,

namun para empu dan pujangga Jawa tidak dengan serta merta menterjemahkan begitu saja.
Isi kedua buku tersebut diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih indah ,
dan “bercita-rasa” Indonesia (Jawa) , selain mengandung ajaran-ajaran kebathinan ,
sekaligus menjadi simbolisasi perjalanan hidup seorang manusia , dari lahir hingga ajal.
Maka bukan hal yg aneh bila orang India sendiri kemudian ‘pangling’ ,
bahkan tidak mengira bahwa cerita wayang yg ada di Indonesia itu ,
sebenarnya digubah dari layang Ramayana dan Mahabharata.
Buku “Ensiklopedi Wayang Indonesia” mencatat ada 274 lakon pakem dan carangan.
Lakon yg satu dan lainnya terlihat berbeda , berbeda tokoh (paraga) dan cerita ,
namun sebenarnya memiliki makna yg tak berbeda ,
yaitu sama-sama menggambarkan kehidupan manusia ,
mulai dari “tidak ada” , berada dalam guwa garba (kandungan) ,
lahir , membesar dan mendewasa lalu pada masanya meninggalkan dunia ini.
Maka ‘surasa’ , makna cerita wayang satu dan lainnya bisa diibaratkan ,
“Kadya suruh lumah lan kurêbé , yèn dinulu séjé rupané , yèn ginigit padha rasané.”
Seperti daun sirih sisi atas – yg terlihat rata dan halus – ,
dan sisi bawah – yg terlihat tulang-tulang daunnya bertonjolan – ,
bila dilihat tampak berbeda , tapi bila digigit sama saja rasanya.
Tidak hanya cerita wayang saja yg mengandung perlambang ,
orang yg menanggap wayang (mengadakan pementasan wayang) , dhalang ,
wayang dan semua uba rampe (perangkat) juga memiliki makna (perlambang) , yaitu :
1. Orang yg menanggap wayang ibarat Hyang Mahawiddhi.
2. Dhalang adalah perlambang Trimurti.
3. Wayang adalah perlambang para titah (manusia).
4. Kêlir (layar kain putih) adalah perlambang langit , angkasa.
5. Dêbog (batang pisang tempat menancapkan wayang) adalah perlambang bumi (bantala).
6. Blèncong (lampu minyak tanah) adalah perlambang matahari , bulan dan bintang-bintang.
7. Gamêlan adalah perlambang kebutuhan manusia (sandhang , pangan , papan , hiburan , dsb)
Pada diri manusia , semua yg disebut di atas juga memiliki perlambang tersendiri.
1. Orang yg menanggap wayang ibaratnya Sang Hyang Atma (suksma , jiwa manusia).
2. Dhalang adalah perlambang cipta-sir , pikir dan rasa (niat) yg ada pada manusia.
3. Wayang adalah perlambang hawa napsu manusia yg pecah menjadi pancadriya (lima indra).
4. Kêlir adalah perlambang angan-angan manusia.
5. Dêbog adalah perlambang raga (badan jasmani) manusia.
6. Blèncong adalah perlambang ‘pramana’ (detak jantung yg menjadi pertanda kehidupan).
Kata ‘pramana’ sendiri memiliki arti : cahaya , terang ; batas , ukuran ; waspada.
7. Gamêlan adalah perlambang kebutuhan manusia (sandhang , pangan , papan , hiburan , dsb)
Sedangkan :
1. Kotak (tempat menyimpan wayang) adalah perlambang sangkan-paran (asal-tujuan) ,
asal dan tujuan seorang manusia , sebelum dititahkan ke alam dunia dan setelah meninggal.
2. Gunungan atau kayon adalah gambaran dari ‘hidup’ , keadaan dunia beserta isinya.
Kata ‘kayon’ berasal dari kata ‘khayun’ yg berarti hidup.
3. Cêmpala atau dhodhogan (kayu yg dipukulkan secara berirama ke kotak wayang)
adalah gambaran dari -detak- jantung.
4. Kêpyak (lempengan-lempengan logam yg dibunyikan dengan kaki oleh dhalang)
adalah gambaran dari mengalirnya darah.
Pagelaran wayang kulit gagrag lawas , selalu dimulai pada pukul 21.00 sampai matahari terbit.
Diawali dengan gêndhing patalon (dari kata dasar ‘talu’ , bahasa Kawi yg artinya awal)
atau gêndhing pembuka , setelah dhalang memijit-mijit ujung kayon sambil membaca mantera ,
dan cêmpala dibunyikan untuk pertama kalinya.
Pagelaran wayang kulit semalam suntuk terdiri dari 3 babak (bagian).
Babak pertama disebut pathêt ênêm (pathêt Lasem) yaitu mulai jam 21.00 sampai jam 24.00.
Babak ke dua disebut pathêt sanga , dari jam 24.00 sampai jam 03.00.
Babak terakhir adalah pathêt manyura , dari jam 03.00 sampai sekitar jam 06.00.
Kata ‘manyura’ berasal dari bahasa Kawi (Jawa kuno) yg berarti ‘merak’ (burung merak).
Dinamakan pathêt manyura (mêrak) sebab pathêt itu di waktu “pêrak esuk” (hampir pagi).
Dalam lakon apa saja , urut-urutan jalan cerita pagelaran wayang kulit selalu sama.
01. Jêjêr pathêt ênêm (secara kata-kata artinya : Adegan -dengan- Dasar 6) ,
atau Jêjêr pathêt Lasem , adegan Sang Prabu di ruang persidangan (parêpatan agung)
bersama patih , penasehat atau tetua keraton membahas sesuatu hal.
Adegan ini menggambarkan apa yg terpikirkan (gêtêring cipta).
Dari awal inilah asal mula semua yg akan terjadi digambarkan , diungkapkan.
02. Kadhatonan atau Gupitmandragini , adegan di dalam keraton ,
(Gupitmandragini : ruang untuk wanita utama) ,
pertemuan antara Sang Prabu dengan Prameswari (lelaki dan wanita) ,
yg menggambarkan menyatunya pikir dan rasa menjadi karsa (niat) ,
yaitu keinginan (niat) untuk memiliki keturunan (anak).
03. Paséban jaba (tempat menghadap -séba- di sebelah luar dari balairung) ,
patih menyampaikan apa yg menjadi inti persidangan kepada mantri dan putra raja ,
lalu memberikan perintah untuk menyiapkan wadyabala (pasukan).
Adegan ini menggambarkan kelahiran si jabang bayi.
04. Bodholan (budhaling wadyabala) , Pemberangkatan (berangkatnya pasukan) ,
berangkatnya pasukan dari kerajaan (angka 1) , ditandai dengan
-yg umum dipergunakan- “Ada-ada Hastakuwala” dan “Ada-ada Budhalan Mataraman”.
Adegan ini menggambarkan polah sang jabang bayi yg mulai bertambah usia.
05. Jêjêr sabrangan , adegan di kerajaan seberang (kerajaan lain).
Sang Prabu di kerajaan lain yg juga membahas sesuatu hal dengan patih atau penasehatnya.
Adegan ini menggambarkan si jabang bayi sudah menjadi anak-anak (bocah) ,
dan mulai mempunyai keinginan-keinginan.
06. Perang gagal.
Ada 2 macam perang yg terjadi pada pathêt ênêm , yaitu :
6.2.1 “Perang ampyak” , digambarkan dengan pasukan kerajaan (rampogan)
yg memperbaiki jalan , dan dimainkan setelah adegan bodholan (budhaling wadyabala).
6.2.2 “Perang simpangan” , digambarkan pasukan kerajaan (angka 1)
bertemu dengan pasukan kerajaan seberang dan terjadi perselisihan ,
namun memilih menghindari terjadinya pertempuran dengan menyimpang.
Dimainkan setelah jêjêran kerajaan seberang.
Di pathêt ênêm ini hanya ada satu perang dan belum ada paraga (tokoh wayang) yg mati.
Adegan ini menggambarkan anak (bocah) yg belum dewasa ,
sehingga belum bisa menahan keinginan , belum bisa mengendalikan hawa nafsunya.
Babak pertama (pathêt ênêm) berakhir dan memasuki babak ke dua (pathêt sanga).
07. Pathêt sanga dibuka dengan adegan ‘gara-gara’.
Gara-gara adalah keadaan dunia yg seakan menghadapi kiamat oleh berbagai bencana alam.
Manusia hanya mampu berlarian kesana kemari mencari perlindungan.
Para pandhita tak mampu mengucap mantra , tak kuasa bersemedi.
Sang Raja tak berdaya , hanya bisa berharap pertolongan dewa.
Namun dewa juga bersedih , karena bencana juga melanda Suralaya (Kahyangan).
Di tengah gara-gara tiba-tiba muncullah 2 bocah bajang (orang kerdil).
Yg seorang membawa tempurung berlubang 3 ( batok bolu = bolong telu ) ,
hendak menguras air dan mengeringkan samudra.
seorang yg lain membawa sebatang lidi (sada lanang) ,
hendak menggiring angin menyapu jagad.
keduanya berebut kebenaran yg menambah dasyatnya bencana.
Namun kehendak Sang Pencipta ,
gara-gara mereda dengan munculnya seberkas sinar memancarkan cahaya bak purnama.
Seiring sirnanya sinar itu muncullah dewa berwujud manusia.
Berdiri seakan tugu batu , duduk laksana gumuk (bukit).
Itulah Sang Hyang Ismaya atau Ki Lurah Semar.
08. Jêjêr pandhita , bambang (satrya muda) menghadap pandhita dan menerima petuah.
Adegan yg menggambarkan anak (bocah) yg mulai dewasa (pemuda) ,
pikiran dan hatinya mulai terbuka dan mulai mencari pengetahuan (ngangsu kawruh) ,
menimba ilmu , untuk bekal menjalani kehidupan.
09. Jêjêr madyaning alas , adegan di tengah hutan.
Bambang (satrya muda) dengan diiringi panakawan (Semar , Gareng , Petruk dan Bagong) ,
bertemu dengan 3 danawa (raksasa). Terjadi pertengkaran dan perkelahian ,
yg dimenangkan oleh sang bambang , dengan berhasil membunuh ke 3 danawa tersebut.
3 danawa adalah gambaran dari watak angkara-murka (hawa nafsu) ,
yg berhasil ditundukkan oleh satrya muda setelah ngangsu kawruh nggilut ilmu.
Selanjutnya memasuki babak ke tiga , pathêt manyura.
10. Adegan warna-warni , yg menggambarkan bahwa dalam menempuh perjalanan hidup ,
manusia akan mengalami kejadian beraneka macam , berbagai rasa ,
senang , susah , mujur , sial , untung , malang , menang , kalah , dan sebagainya.
Dari setiap kejadian itulah manusia musti memetik hikmah dan menempa pribadinya.
11. Perang bubruh , secara harafiah bermakna perang dengan emosi yg meluap (amuk-amukan).
Disebut juga ayak-ayakan dan diiringi dengan ‘gêndhing sampak.
Raja dari seberang beserta pasukannya menyerang ke kerajaan pada jêjêr kawitan
(adegan pertama) , dan terjadilah perang amuk-amukan (bubruh).
Raja seberang dan pasukannya kalah , bila sang Raja seberang adalah dewa atau satrya
yg bersalin wujud , maka kembalilah pada wujud yg sebenarnya.
Bila perang bubruh ini terjadi pada jaman Prabu Rama (Ramayana) ,
maka yg merampungi (menyelesaikan) selalu adalah Hanuman.
Bila perang bubruh ini terjadi pada jaman Pandawa (Bharatyudha) ,
maka yg merampungi (menyelesaikan) selalu adalah Bhima (Wrekudara).
Hanuman dan Bhima disebut Bayu Suta , anak Sang Hyang Bayu ,
yg dimaksudkan adalah ‘angin kecil’ , yaitu napas (ambêkan).
Adegan perang bubruh adalah perlambang , bahwa pada akhirnya ,
napas jualah yg mengakhiri perjalanan hidup manusia.
12. Berkumpulnya Raja , putra raja dalam suasana yg menyenangkan ,
adalah gambaran manusia yg meninggal dunia dengan tenang ,
karena telah menjalankan kewajibannya sebagai “titah” dengan sebaik-baiknya.
Jêjêr kawitan (adegan permulaan) dan jêjêr sabrangan (adegan seberang) ,
tidak selalu menggambarkan adegan di sebuah kerajaan.
Dalam lakon “Wahyu Tohjali” jêjêr kawitan adalah keadaan di Kahyangan (Suralaya).
Setelah cerita pagelaran wayang kulit selesai , sebelum tancep kayon ,
dhalang mengeluarkan wayang golèk (wayang yg terbuat dari kayu , dari Jawa Barat) ,
dan menarikan wayang golèk tersebut.
Hal ini bermakna sebagai sasmita dari dhalang :”golèkana surasané” , carilah maknanya.
Pertunjukan wayang , pada hakikatnya ,
adalah simbolisasi perjalanan hidup manusia , dari lahir hingga mati.

===========================================================

– Antawacana : anta = batas , wacana = ucapan
Arti secara padhalangan : perbedaan suara tokoh wayang yg satu dengan lainnya.
– Suluk dalam padhalangan adalah ‘syair’ yg dilagukan oleh dhalang ,
untuk memberikan penggambaran suasana atau keadaan.
Biasanya diambil dari tembang tengahan ataupun petikan dari kakawin Bharatayuddha.
Suluk sendiri adalah karya sastra yg diciptakan oleh Sunan Bonang ,
berupa puji-pujian , doa , petuah hidup ,
sebagai jalan (sarana) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
– Ada-ada : Jenis sulukan dalam padhalangan.
Ada-ada juga berarti : serat daun ; tonggak penyangga ; tanda awal tulisan Jawa.
======



by: DHALANG BONEX


1 comment: